PLEDOI RASISME VERBAL ATAS NAMA SEPAKBOLA
Banyaknya jenis spesies manusia terbagi menjadi beberapa kategori ke dalam warna kulit, bentuk wajah, bentuk hidung, warna rambut, bentuk mata, kerut dahi, dan lain sebagainya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap Tuhan dan mengacuhkan teori evolusi kamuflase ala Charles Darwin, kategori tersebut dipersempit lagi menjadi ke dalam suku & ras. Ras inilah yang membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya dalam hal fisik.
Saya membagi ke dalam tiga hal yang bisa menjadi penyebab manusia di planet ini menjadi tersinggung, yang pertama adalah apabila terdapat perbincangan mengenai status ekonomi seseorang, yang kedua perbincangan mengenai agama dan yang ketiga adalah percakapan mengenai keburukan fisik seseorang. Yang disebut terakhir itulah yang dapat membuat timbulnya konflik berkepanjangan tanpa ada ujung pangkal solusi pemecahan masalah. Manusia mana di belahan bumi ini yang tidak akan tersinggung apabila dirinya dicela oleh orang lain mengenai keburukkan fisiknya.
Saya merangkai kalimat ini tidak bermaksud untuk offensive terhadap siapa pun atau etnis manapun yang membacanya. Tapi inilah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Saya pun tahu menulis tentang hal ini beresiko menimbulkan kontroversi dari pemikiran kalian semua yang membacanya.
Rasisme memang sudah menjadi hal ‘lumrah’ di beberapa Negara. Di Negara super power yang konon katanya menjunjung tinggi demokrasi sekaliber Amerika Serikat pun banyak ditemui kasus pelecehan rasis baik secara verbal maupun non verbal.
Mohammad Ali, Mike Tyson, Malcolm X dan martin Luther King adalah sebagian tokoh dan publik figure Amerika Serikat yang menjadi korban rasisme. Tentu beberapa diantara kalian pernah mendengar nama ‘Ku Klux Klan’ atau yang biasa disebut The Klan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik. Ku Klux Klan merupakan suatu perkumpulan yang berjuang memberantas kaum kulit hitam dan minoritas di Amerika Serikat seperti etnis Yahudi, warga keturunan ras Asia, dan masyarakat yang menganut agama Katolik Roma.
Kebencian yang ditebar dan kekerasan yang dilakukan Ku Klux Klan terutama terhadap orang berkulit hitam yang berdomisili di Amerika Serikat bermula dari dendam kesumat ras kulit putih di Negara-negara bagian wilayah selatan Amerika Serikat terhadap ras Kulit hitam pasca perang sipil. Saat itu, orang-orang kulit hitam dibantai orang-orang kulit putih anggota Ku Klux Klan. Pemicunya adalah kemenangan kulit hitam yang membebaskan mereka dari jerat perbudakan. Pada masa kejayaannya, Ku Klux Klan berhasil merebut lebih dari 3 juta anggota. Bengis? Ya begitulah tipikal manusia yang menganut dogma rasisme dan tidak menerima adanya perbedaan.
Itu contoh kasus rasisme di Negeri Paman Sam, lalu bagaimana di Negara lainnya? Di Negara lain, rasisme sudah menjalar bak virus influenza yang bisa menular ke siapa saja yang berada di sekelilingnya. Rasisme di Negara lain banyak terjadi di benua biru Eropa seperti Polandia, Italia, Inggris, Rusia, Ukraina, Spanyol, Serbia, Kroasia dan lainnya. Di Eropa, rasisme seakan sudah menjadi cemoohan yang biasa. Doktrin ideologi yang mengukuhkan kasta ras kulit putih lebih tinggi daripada suku atau ras lainnya berdampak pelecehan secara verbal terhadap warga non kulit putih.
Teror rasisme sempat meruak ke permukaan ketika turnamen akbar sekelas European Cup 2012 diselenggarakan di Ukraina dan Polandia. Dua Negara yang merupakan Negara eks Komunis ini dikenal sangat memegang teguh prinsip ras mereka di atas segalanya. Doktrin fasisme ala Nazi yang sempat ditabuhkan Hitler di Polandia ternyata masih melekat bagi mereka warga Polandia yang menganut faham Neo Nazi. Di Ukraina lebih miris, ada catatan di pertandingan sepakbola liga lokal, beberapa supporter klub tertentu tertangkap kamera sedang memukuli supporter lainnya yang memiliki perawakkan seperti orang India. Pada tanggal 28 Mei 2012, program televisi Panorama yang disiarkan oleh BBC menayangkan segmen “Stadium of Hate”, yang berisi dokumentasi dan bukti praktek rasisme serta anti-Yahudi dan anti-Asia di stadion-stadion di Ukraina & Polandia.
Laporan lainnya dicatatkan oleh media Sky Sport News yang menyebutkan sejumlah penggemar klub Ukraina Shaktar Donetsk yang memiliki afiliasi dengan neo- Nazi akan melakukan penyerangan kepada suporter Inggris. Polisi anti rasisme telah melakukan investigasi dalam periode 18 bulan hingga Maret tahun 2012 & menemukan 195 kasus rasisme dalam pertandingan sepak bola di Polandia dan Ukraina. Ini merupakan sebuah catatan yang mencengangkan dalam kasus terror rasisme secara verbal. Kasus lainnya terjadi di Rusia ketika kelompok suporter Spartak Moscow membentangkan banner ke arah kerumunan suporter Galatasaray, banner tersebut begambar Masjid yang diberi tanda coret.
Tabuh Genderang Pledoi Atas Nama Rasisme
Dalam dunia suporter sepakbola Eropa, kelompok suporter terbagi ke dalam dua faksi. Faksi pertama adalah faksi suporter Antifa (Anti Fasisme, Komunisme dan Rasisme), Faksi kedua adalah kelompok suporter yang pro dengan Fasisme & Rasisme. Kedua klompok faksi ini saling berseteru satu sama lain.
Belum lama ini banyak sekali terjadi kasus pelecehan rasisme secara verbal dalam beberapa pertandingan sepakbola di Eropa. Yang terbaru adalah kasus pelemparan pisang ke lapangan yang dilakukan oleh suporter Villareal kepada full back asal Brazil, Diego Alves, saat klub berjuluk The Yellow Sub Marine tersebut menjamu Barcelona akhir pekan kemarin.
Pisang secara harfiah sudah identik dengan makanan pokok hewan berspesies primata seperti monyet, gorilla, oran utan, simpanse dan koleganya. Hal ini yang mendasari pisang sangat krusial dengan monyet. Dalam pertandingan yang berkesudahan dengan skor 2-3 untuk kemenangan tim tamu tersebut, Alves merespon ‘hinaan’ pelemaran pisang tersebut dengan cara mengupas dan memakannya. Tindakan Alves ini merupakan bentuk pledoi atas tekanan & penghinaan yang mengatasnamakan rasisme. Namun pledoi juga bukan secara pribadi milik Alves, suporter Villareal juga meneriakkan pledoi mereka atas nama rasisme. Spanyol memang melekat dengan kasus rasisme dalam sejarah berdirinya negeri matador ini. Tidak heran jika doktrin rasisme masih menjamur di sebagian masyarakat.
Bagaikan Adolf Hitler yang mengagungkan ras suku Arya dalam penyebaran ideologi fasisme di Eropa, rasisme juga tumbuh dan berkembang menjadi faham yang lebih spesifik dan lebih mendetil. Jika orang-orang Eropa berkeyaninan bahwa ras mereka lah yang paling sempurna maka ras non-Eropa atau kulit putih menjadi objek korban rasialis atas tingkah laku mereka. Dan sasaran empuk objek tersebut adalah benua Afrika dan Asia, yang memang sejak dahulu kedua benua ini menjadi lahan surga kolonialisme untuk mencapai target 3G yaitu Glory, Gospel, dan Gold.
Ambil saja contoh dari benua Asia, ini merupakan benua yang paling banyak menampung berbagai jenis ras manusia dibanding benua lainnya. Ras Asiatic Mongoloid yang banyak tersebar di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan & Utara, China, Thailand dan beberapa di Indonesia menjadi sasaran empuk bagi penganut faham anti kesetaraan ras. Ras ini biasa disebut juga sebagai ras kulit kuning, alhasil banyak orang yang menyebut bahwa manusia produk kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan orang kulit kuning.
Kasus rasisme terbaru dalam dunia sepakbola yang terjadi dengan mengejek ras kulit kuning cadalah ketika pertandingan akbar antara AC Milan dengan tetangganya yaitu Internazionale Milan. Dalam pertandingan musuh bebuyutan berbeda ideologi tersebut, suporter Milan dengan aliansi tribun selatan atau yang lebih dikenal dengan Curva Sud membentangkan big banner bertuliskan ‘SIETE COSI MERDE CHE JAKARTA E’ DIVENTATA IGIENICA’ yang secara harfiah bahasa artinya adalah ‘Kalian sungguh seperti Tai (kotoran manusia) dan Jakarta tidak lebih hanya sekedar toiletmu’.
Jakarta? Mengapa Jakarta yang diambil untuk dijadikan objek rasisme Curva Sud? Ya, mungkin Curva Sud bermaksud menghujam rasisme dengan mengambil objek yang tepat mengenai sasaran rasis yaitu Presiden klub Internazionale Milan, Erick Thohir yang notabene berasal dari Indonesia dan berdomisili di Jakarta.
Tidak berhenti sampai di big banner itu, Curva Sud kembali menyebar teror rasisme melalui banner kedua yang bertuliskan ‘THOHIR LA PELLE, MORATTI I DENTI, C’E’ SEMPRE DEL GIALLO NEI VOSTRI PRESIDENTI !!’, yang saya coba terjemahkan menggunakan google translate kurang lebih kalimat tersebut berbunyi ‘THOHIR PADA KULITNYA, MORATTI PADA GIGINYA. SELALU ADA YANG KUNING PADA DIRI PRESIDEN KALIAN!!!’.
Kuning? Yaa ras Asiatic Mongoloid yang saya singgung di atas menjadi sasaran rasisme Curva Sud. Etnis kulit kuning memang melekat dan identik dengan mayoritas orang berparas oriental dan melayu.
Dua banner rasisme Curva Sud tersebut apakah pantas dimasukkan dalam kategori rasisme verbal?
Tentu saja jawabannya adalah iya. Tapi lihat kembali darimana kedua klub berasal? Internazionale dan AC Milan berasal dari negeri Italia yang memang sudah terkenal dengan fasisme dan rasisme pada era kediktatoran Benito Mussolini dahulu. Lumrah saja hal tersebut dilakukan di negeri pizza tersebut.
Lantas pantas kah hal tersebut dilakukan sebagai bagian pelecehan rasisme dalam bentuk verbal dalam sepakbola? Lagi-lagi hal ini diteriakkan atas nama ideologi dan keyakinan yang tumbuh & berkembang dalam masyarakat. Pledoi atau pembelaan selalu dikumandangkan dengan dalih sejarah dan faham masa lalu yang kelam.
Inilah sepakbola, tidak bisa dipungkiri di dalamnya terdapat realita kehidupan yang bisa lebih kejam dari film India dan lebih dramatis ketimbang drama telenovela dari Meksiko. Rasis di era modern seakan sudah menjadi hal lumrah sebagai bahan ejekkan terhadap suku atau ras tertentu. Dengan kumandang pledoi atau pembelaan, semuanya hukum yang mengatasnamakan rasisme seakan sirna tenggelam dengan teriakkan pledoi.
Source
KUNJUNGI KAMI
__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar