
Lika-Liku Suporter Persija: Dari VIJers, PFC, hingga The Jakmania

Penulis : Ekky Rezky
Sumber : Four Four Two
Persija Jakarta memang sedang alami kemunduran yang dalam. Tak ada prestasi dalam beberapa tahun terakhir yang mereka dapatkan, dan alih-alih prestasi, lebih banyak kabar buruk yang mengiri perjalanan mereka – termasuk, tentu saja, isu gaji dan masalah ketidakjelasan stadion.
Meski begitu, klub ibukota ini tetap merupakan salah satu klub terbesar di Indonesia. Dan meski selama ini memiliki imej yang kurang baik di mata masyarakat, suporter mereka, The Jakmania, juga tetap merupakan salah satu yang terbesar di negeri ini. Lihat saja bagaimana oranye-nya tribun stadion Gelora Bung Karno ketika Persija mendapatkan izin untuk bermain disana. Atau bagaimana baju oranye dengan mudah kita lihat di jalanan Jakarta setiap kali hari pertandingan kandang Persija tiba. Juga kita lihat bagaimana tagar #PersijaDay menjadi trending topic tiap kali mereka bermain di Jakarta ataupun di luar Jakarta. The Jak dan Persija memang merupakan dua hal yang tak terpisahkan saat ini.
Tapi situasinya tak selalu seperti itu, Ada masa ketika Persija belum mendapatkan dukungan yang luar biasa dari Jakmania karena kelompok suporter yang identik dengan simbol ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang membentuk huruf J ini baru didirikan tahun 1997. Persija sendiri sudah berdiri sejak tahun 1928 (sebagai Voetbalbond Indonesische Jacatra atau VIJ), sehingga masa ketika Persija tak memiliki Jakmania jelas jauh lebih panjang.
Masalahnya, Jakarta bukanlah kota dengan kultur suporter sepakbola yang begitu kental. Ini bukanlah kota seperti Bandung, Malang, atau Surabaya yang mempunyai kultur suporter yang kuat, di mana kebiasaan mendukung klub sepakbola yang mewakili kota mereka dilakukan secara turun temurun.
Tentu saja hal itu tidak berarti Persija (dan VIJ) tidak memiliki suporter sejak dulu. Berkebalikan dengan anggapan sebagian orang bahwa Persija tak punya suporter sebelum era Jakmania, klub yang dulu identik dengan warna merah-putih ini sudah mempunyai suporter sejak era VIJ menjuarai Perserikatan dalam empat musim di era 1930an.
“Masuknya beberapa tokoh nasional seperti MH Thamrin sangat mempengaruhi orang-orang Betawi dan pribumi mendukung VIJ,” kata Gerry Putra, jurnalis yang juga seorang pemerhati sejarah Persija.
“Koran Pemandangan, yang saat itu jadi media tak resmi VIJ, secara tidak langsung turut membantu propaganda VIJ lewat pemberitaan dan iklan-iklannya, yang bikin orang-orang Betawi mau dukung VIJ.”
Kultur suporter juga terlihat dari bagaimana mayoritas suporter sejak era lampau terbentuk di daerah-daerah tertentu seperti Tanah Abang, Jatibaru, dan Kebon Jeruk. Inilah daerah-daerah yang paling banyak memberikan massa suporter ketika VIJ dan Persija bertanding, baik ketika mereka bermain di Petojo, Ikada, ataupun Menteng.

Menariknya, fenomena tersebut memang disebabkan oleh demografi masyarakat pribumi Jakarta. Sejak era penjajahan Belanda, Kebon Jeruk dan Tanah Abang memang merupakan daerah yang dihuni oleh masyarakat pribumi. Dan besarnya dukungan pribumi terhadap VIJ saat itu memang tak terlepas dari sejarah VIJ sendiri, yang berdiri sebagai kubu perlawanan atas VBO, klub bentukan Belanda di Jakarta.
Bukti sejarah bahkan menunjukkan bahwa di masa itu, istilah ‘ VIJers’ bagi para pendukung VIJ sudah muncul. Lagi-lagi, ini adalah propaganda dari para pendiri VIJ, Soeri dan Alie, yang memang terus berusaha “memanaskan” jiwa nasionalisme para warga pribumi agar memberikan dukungan bagi VIJ.

Kedekatan Emosional Jadi Sumber Dukungan
Pada era VIJ, klub ini bisa cukup mudah meraup dukungan dengan “menjual” nasionalisme. Lalu bagaimana setelah Indonesia merdeka dan VIJ berubah menjadi Persija ?
Apakah masih ada dukungan bagi klub yang terus mengenakan seragam merah mereka meski telah berganti nama ?
Jawabannya: masih. Namun, ada pergeseran alasan. Jika dulu warga pribumi mendukung VIJ sebagai bentuk perlawanan mereka atas VBO, NIVU, dan penjajahan Belanda, di era 1950-70an, klub yang saat itu sudah berganti nama menjadi Persija tersebut mendapatkan dukungan besar dari warga pribumi karena kedekatan emosional pada para pemain.
Hal tersebut sangat tampak terutama di tahun 1964, ketika Persija bisa menjadi juara Perserikatan tanpa terkalahkan. Selain memang karena hasil-hasil akhir yang memuaskan di atas lapangan, fakta bahwa skuat Persija dimasa itu diisi oleh pemain-pemain lokal binaan Persija menjadi alasan kenapa warga Jakarta ramai-ramai mendukung tim ini.
“Timnya muda, dan (pemain-pemain) kayak Soetjipto Soentoro itu orang Gandaria. Adiknya, Soegito, juga orang Gandaria. Fam Tek Fong, Kwee Tik Lion itu orang-orang Glodok, yang nggak terlalu jauh dari Tanah Abang,” kata Gerry.
“Istilahnya, masih orang-orang kita (Jakarta) juga, orang-orang yang kita kenal.”
Pada tahun 1973, ketika Persija juara, bahkan para suporter Persija sampai masuk ke dalam lapangan untuk merayakan gol Andi Lala. Majalah Tempo ketika itu memasang tajuk utama “Hadiah untuk Warga Kota”.

Penurunan prestasi yang dialami oleh Persija di tahun 1980an, terutama ketika mereka hampir terdegradasi ditahun 1985, menjadi salah satu penyebab mengapa terjadi penurunan dukungan juga terhadap Persija.
“Kultur orang Jakarta dulu kan memang kalau timnya bagus, mereka berbondong-bondong, kalau timnya jelek, ntar-ntaran dulu deh.” lanjut Gerry.
Urbanisasi tentu saja jadi penyebab yang besar juga. Makin banyaknya orang-orang daerah yang pindah ke Jakarta pada era 80-90an membuat kota ini dihuni oleh warga yang makin beragam asalnya. Masalahnya, mereka yang datang dari daerah pun lebih memilih klub dari daerah asalnya. Orang Surabaya lebih memilih mendukung Persebaya, Orang Malang tentu saja Arema.
Tanpa dukungan warga Betawi dan minimnya pendatang yang mau mendukung Persija membuat jumlah dukungan untuk klub ini makin minim. Apalagi, prestasi di atas lapangan pun tak membantu.
“Titik nadir Persija itu tahun ‘90an. Hampir degradasi juga, secara finansial juga lebih terpuruk. Paling yang nonton cuma artis kayak Indra Lesmana atau keluarga deket (Persija) saja. Selebihnya anak-anak muda Jakarta, lebih nonton Pelita yang lebih wah waktu itu,” ujar Gerry.
Revolusi Sutiyoso
Nasib Persija baru berubah ketika Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta.
Sejak awal, Bang Yos, sapaan akrab sang Gubernur, memang punya niatan untuk membangkitkan Persija sebagai klub sepakbola yang mewakili Jakarta.
“Saya ingin Jakarta memiliki tim yang membanggakan warganya,” kata Bang Yos saat itu. Revolusi wajah Persija pun dimulai.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam hal suporter. Harus diakui bahwa sejak 1980an, Persija memang tak memiliki banyak suporter “Praktis bisa dibilang enggak ada!” aku Ferry Indra Syarief, salah satu pendiri dan mantan ketua Jakmania). Klub ibukota ini memang pernah punya kelompok suporter bernama PFC alias Persija Fans Club, namun keanggotaannya terbatas pada keluarga pemain dan pengurus Persija serta artis-artis ibukota yang memang mendukung Macan Kemayoran.
‘Gagalnya’ PFC sebagai sebuah klub fans terlihat ketika Persija bertanding di final Perserikatan 1988 melawan Persebaya Surabaya di Senayan. “(Gelora Bung Karno) itu 24 sektor, lho. Persija cuma satu sektor, itu pun enggak pakai seragam. Cuma satu sektor yang pakai merah, karena Persija waktu itu merah, sisanya ijo semua,” kenang Bung Ferry.
The Jakmania berawal dari pikiran sederhana Bung Ferry dan kawan-kawan yang saat itu masih mahasiswa:
bagaimana menonton pertandingan dengan membayar tiket yang lebih murah ?
Jawabannya adalah menjadi anggota fans klub. Masalahnya, pada tahun 1997, Persija tak memiliki fans klub (PFC sudah tak jelas kabarnya ketika itu). Bung Ferry dkk. pun didorong oleh pengurus Persija seperti Diza Rasyid Ali dan Edi Supatmo untuk mendirikan fans klub. Pengurus klub menjadi fasilitator, sementara kaum muda yaitu Bung Ferry dkk sebagai penggerak dan pembentuk organisasi.
Gugun Gondrong dipilih sebagai ketua karena statusnya sebagai figur publik, sementara Ferry Indra Syarief menjadi wakilnya. Nama The Jakmania dipilih didasari oleh keinginan pihak klub untuk memiliki nama julukan yang lebih mencerminkan Jakarta - dan The Jak adalah pilihan yang dianggap ideal, sehingga nama fansnya menjadi The Jakmania.
Meski memiliki ketua seorang public figure seperti beberapa ketua PFC dulu, The Jakmania tak mengulangi kesalahan PFC. Tak ada eksklusivitas di tubuh organisasi suporter yang baru terbentuk ini, yang ada malahan upaya perekrutan yang meluas dengan cara pembentukan sistem koordinator wilayah (korwil).

foto by @12CSL
Setiap korwil bertanggung jawab untuk mengurus wilayahnya, termasuk di dalamnya mengajak lebih banyak orang untuk mendukung Persija dan bergabung dalam The Jakmania.
Kembali, mengingat betapa heterogennya ibukota, tugas ini tentu saja bukan hal yang mudah. Strateginya kemudian adalah menyentuh aspek emosional orang-orang: bahwa ketika Anda telah menghuni suatu daerah dan dalam waktu lama, sudah sepantasnya Anda mendukung klub sepakbola di mana Anda tinggal, bukan klub daerah Anda berasal.
“Gua coba tanamin ke anak-anak muda, gua bilang elu berasal dari manapun, tapi sekarang lu tinggal di Jakarta. Kalau cuma orang Betawi yang berkewajiban, orang Betawi sendiri udah banyak yang di Bogor, di Tangerang, di Bekasi, dan mereka dukung kesebelasan di sana,” cerita Bung Ferry.
“Mulai generasi kedua pendatang, (mereka) mulai ikut gabung ke kita. ‘Oh iya bener juga, gua lahir di Jakarta, gua tinggal di Jakarta, ya gua dukung Persija.’ Dan cara itu ternyata ampuh.”

Sutiyoso
Tiket Gratis di Awal Era Bang Yos ?
“(Memang) banyak kerahan dari kelurahan, itu dari Bang Yos sendiri. Tapi Jakmania beda dengan (kerahan) Bang Yos,” aku Bung Ferry.
“Kita kadang malah agak terganggu sama mereka. Kita (Jakmania) kan nyanyi, pake drum, mereka bawa tanjidor (kesenian musik khas Betawi), bawa alat musik. Makanya akhirnya kita minta sama Persija supaya suporter yang itu dipisahin.”
Selain faktor emosional geografis yang dikelitik oleh The Jakmania, perkembangan organisasi ini yang begitu pesat pada pergantian milenium ketiga lalu juga terjadi berkat revolusi yang terjadi pada tubuh Persija sendiri.
Berkebalikan dengan kondisi pada pertengahan 1990an, mulai 1997 hingga 2003, Persija merupakan tim yang sangat makmur dengan banyaknya sponsor yang masuk.
Ini tentu saja tak lepas dari partisipasi aktif pemerintah daerah yang membantu mendorong sponsor untuk mendukung Persija pada era ini.
Tak mengherankan jika mulai 1999, Persija mulai mampu mengumpulkan pemain-pemain terbaik di timnya, dipandu oleh Ivan Kolev yang membangun pondasi Persija. Pelatih yang kelak melatih timnas Indonesia ini memang tak sempat merasakan juara bersama ‘Si Oren’, julukan baru Persija setelah berganti warna menjadi oranye, tapi ialah yang membangun Persija sebelum diteruskan oleh Sofyan Hadi untuk membawa Persija menjuarai Liga Indonesia VII pada tahun 2001.
Imbasnya, peningkatan jumlah anggota Jakmania pun melesat pesat. “Puncaknya di Liga Indonesia VII Sampai 12.000 anggota baru yang mendaftar dalam waktu setengah musim,” kata Bung Ferry.

Dalam waktu singkat, Persija menjadi salah satu kelompok suporter terbesar di Indonesia dan salah satu yang paling berpengaruh juga. Pengaruhnya pun terasa bagi klub sendiri, yang sering diprotes oleh para suporter jika ada hal-hal yang dirasa tak tepat. Tetapi besarnya jumlah anggota tak melulu berujung pada hal yang baik. Dengan banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan The Jakmania dan kelompok suporter lain selama beberapa tahun belakangan, nama The Jak pun menjadi buruk.
Pelan-pelan muncul anggapan bahwa The Jak hanya bisa membuat ricuh, padahal klubnya sendiri tengah terpuruk secara prestasi. Tapi benarkah seperti itu?
“Masyarakat kita sudah terlalu parno dengan massa dalam jumlah besar. Mau itu massa sepakbola, musik, atau partai, kita sudah parno. Tapi kalau boleh dibandingin, The Jak sudah menonton di Lebak Bulus selama belasan tahun, apakah stadion Lebak Bulus pernah dibakar? Tidak pernah sekalipun.” kata Bung Ferry.
“Stadion Lebak Bulus pernah punya sejarah bakar-bakaran, tapi terjadi di konser Metallica. Jadi jangan dibilang (Jakmania) rusuh. Yang lebih rusuh yang mana?”
“Cuma mungkin karena sepakbola frekuensinya lebih banyak, orang lebih menyorotinya. Lebak bulus pernah dua kali, lho, kerusuhan yang parah, waktu (konser) Iwan Fals, sama waktu Metallica.”
Tuan rumah di tanah sendiri
Persija memang kini sudah memiliki The Jakmania sebagai suporter setia yang selalu memenuhi stadion ketika mereka bertanding. Puluhan ribu orang mau datang ke stadion untuk mendukung mereka, bahkan ditengah prestasi yang seret. Namun banyaknya pemberitaan dan anggapan masyarakat yang negatif terhadap mereka, ada tanda-tanda bahwa Persija belum sepenuhnya mampu merangkul semua lapisan masyarakat di kota metropolitan ini.
Kultur suporter memang tak sepenuhnya hidup di Jakarta. The Jakmania pun lebih didominasi oleh kelas menengah bawah, sementara kelas menengah atas lebih tertarik pada hiburan layar kaca: sepakbola benua Eropa. Hanya ketika timnas Indonesia sedang dalam performa bagus dan bertanding di Gelora Bung Karno lah lapisan menengah atas baru tergelitik untuk datang ke stadion dan menjadi suporter.
Tapi di kota dengan tingkat ketidakacuhan yang begitu tinggi pada sepakbola dalam negeri, perkembangan yang sudah terjadi pada The Jakmania dengan jumlah mereka yang masif itu adalah sesuatu yang tetap patut diacungi jempol. Bahkan meski mayoritas anggotanya berasal dari satu kelas ekonomi yang sama.
“Jakarta itu heterogen, tapi enggak berarti enggak bisa punya suporter,” kata Bung Ferry. “Gua cuma pengen, Persija jadi tuan rumah di kampungnya sendiri.”


Source





Tidak ada komentar:
Posting Komentar